Menyudahi tahun 2018 ini, ingin sekali rasanya saya menuliskan penggalan-penggalan yang saya lewati bersama tim di Rumah Ludo. Senang sekali juga rasanya ketika di awal tahun saya dan tim memutuskan untuk mengusung spirit “Act Doers” dan dengan sepenuh hati menjalaninya hingga detik-detik hari kerja terakhir di tahun ini. Ternyata, dalam merespon situasi terkini yang dipenuhi oleh disrupsi-disrupsi di berbagai sisi, sekedar menjadi “Doers” tidak lagi cukup. Melainkan harus berani mengambil tindakan dan tentunya dengan begitu juga mesti berani menghadapi tantangan dan risiko yang sangat dinamis.
Trilogi catatan akhir tahun ini, hendak saya awali dengan mengulas berbagai pertemuan dan proses bersama rekan-rekan klien yang saya temui dari berbagai asal, latar belakang dan kasus-kasus yang juga tidak kalah variatif. Ulasan ini berangkat dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya yang menjadi dasar saya dan tim di Rumah Ludo untuk terus bergerak.
Saya masih ingat betul ketika Rumah Ludo baru didirikan tahun 2013, ranah brand dan branding disesaki oleh hal-hal berbau desain grafis. Branding kemudian terasosiasikan dengan hal-hal seperti logo, poster-poster bekonten vector, animasi grafis dan hal-hal berhubungan dengan itu. Waktu itu hingga beberapa tahun setelahnya, logo menjadi pangkal mula semua proses pembangunan brand. Dari bisnis kaki lima hingga korporasi rakasasa berlomba-lomba menghadirkan logo dan material komunikasi berbasis desain grafis. Namun, bagi saya secara pribadi, sangat sulit untuk memahami (baca: menerima) hal tersebut. Dari hal ini, setidaknya saya mencatat dua hal penting yang menjadi kunci dalam proses membangun strategi brand dan branding (tepatnya komunikasi) bersama klien.
- Brand dan Disrupsi
Tahun 2015 ketika berkesempatan mendampingi salah satu institusi kementerian, saya menjadikan project tersebut sebagai momentum untuk menawarkan langkah “baru” dalam pembangunan brand. Saya dan tim kala itu mulai mendistribusikan pandangan bahwa “Brand is a genuine story that define you!”. Dengan pandangan ini, kami sepakat bahwa pembangunan brand yang strategis dimulai dari proses pendefinisian bisnis (subyek brand) secara baik; yaitu tentang bagaimana target komunikan brand hendaknya mendefinisikan subyek brand tersebut. Pendefinisian inilah yang menjadi fondasi dasar, arah sekaligus misi yang secara terus menurus didistribusikan dan diinternalisasi oleh subyek brand kepada target komunikannya. Dari project tersebut lahirlah karya yang kami sebut salah satu karya fenomenal dengan tagar #SadarAPBN sebagai narasi utama yang kini lebih dikenal dengan #UangKita dan secara kontinyu masih terdengar gaungnya hingga hari ini.
Pandangan ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan baru sama sekali, karena ketika melihat berbagai brand-brand yang sudah mendunia, pendekatan ini sudah sejak lama digunakan. Hanya saja, barangkali masih sedikit sekali di negeri ini memahami atau sekedar belum mampu mengejawantahkannya ke dalam ranah praktis. Dan melihat kembali ke tahun 2018, pandangan ini masih sangat relevan. Tantangan saya dan tim tidak lagi hanya berpusat pada pembangunan strategi brand, melainkan mengedepankan proses pemahaman klien terhadap brand dan branding yang selama ini menjadi akar persoalan kegagalan atau ketidakoptimalan pembangunan brand yang dijalankan sebelumnya. Tidak hanya klien dalam negeri, salah satu klien saya yang bergerak di bidang trading bahan makanan organik di Jerman dan berusaha menguasai pasar di Kawasan Uni Eropa juga menghadapi tantangan serupa.
- Narasi dan Berkomunikasi
Seperti yang saya singgung pada bagian pertama, brand adalah sebuah cerita; brand adalah sebuah narasi yang kontinyu dan bertumbuh. Oleh karenanya, alih-alih mendikte target komunikan dengan pengertian, makna dan filosofi yang tidak ringan dari sebuah logo dan desain grafis, brand adalah tentang menarasikan subyek brand kepada target komunikannya. Karenanya pula, narasi membawa informasi-informasi yang berhubungan dengan “purpose” dan “benefits” bagi target komunikan; mengkomunikasikan motif, alasan serta direktori. Dan hal tersebut bisa disampaikan melalui banyak media salah satunya logo dan desain grafis serta media baru lainnya seperti media sosial.
Perilaku berkomunikasi yang berangkat dari pendefinisian subyek brand dan menarasikannya secara berkesinambungan, juga tidak terlepas dari kehadiran media baru dengan pendekatan komunikasi baru dan melahirkan kultur yang baru pula. Media-media baru seperti media sosial misalnya, menuntut perlakuan yang berbeda dibanding media-media konvensional. Televisi, radio dan iklan luar ruang yang dulunya sangat lekat dengan kerja-kerja kreatif komunikasi diperlakukan lebih menjadi placement informasi, publikasi dan sosialisasi. Sementara media baru membawa habit komunikasi yang harfiah; komunikasi human to human; user to user.
Hal-hal inilah yang menjadi pokok pikiran saya dan tim dalam mengemban kepercayaan klien untuk mentransformasikan bisnis, insitusi maupun produk menjadi sebuah brand; menjadi subyek brand yang bercerita dan bertumbuh dalam kehidupan target komunikan dan target pasarnya. Harapannya, strategi pembangunan brand yang dirancang menjadi ruang komunikasi yang humanis.