Desember 2018 ini genap setahun saya belajar minum sekaligus menyeduh kopi. Seperti yang sering saya ceritakan di akun media sosial, menyeduh kopi buat saya bukan ditujukan sebagai profesi. Saya mendapatkan dua pengalaman dari proses menikmati dan menyeduh kopi. Pertama alasan yang terbilang personal yaitu keinginan saya mengkoleksi rasa. Dan kopi dengan ragam asal, proses dan rasa menurut saya mampu menghadirkan hal-hal itu. Kedua, alasan lainnya yang berhubungan dengan profesi saya sebagai business doers dan brand strategist. Dunia perkopian dan industrinya memang tengah menjadi pusaran aktivitas bisnis yang cukup besar di kalangan teman-teman muda, karenanya peristiwa menyeruput kopi pada akhirnya diperkaya dengan sejumlah obrolan dan diskusi mengenai bisnis dan brand. Karena kopi pula saya, Mainbrand dan BASIC|LUDO dipertemukan dengan teman-teman muda dalam berbagai aktivitas produktif. Hal ini juga terjadi karena saya percaya, kedai kopi merupakan medan magnet berbagai pertemuan, distribusi ide dan wacana hingga ruang eksekusi ide yang sangat menjanjikan.

Beberapa hari lalu saya berkesempatan bertemu dengan Mas Sujatmika, masih dalam ritual menyeruput kopi di salah satu kedai kopi langganan saya. Nama beliau ini sudah lama saya dengar kiprahnya dan kefasihannya dalam menggeluti hal-hal menyangkut kopi, kedai kopi dan industrinya. Saya mengajukan pertanyaan sederhana waktu itu, tentang faktor yang menjadi daya tahan sebuah bisnis kopi. Dengan mantap beliau menjawab dua hal, yaitu maturitas dan interactive approach. Dua alasan ini saya pikir sangat masuk akal, karena maturitas berhubungan dengan banyak aspek. Misalnya kopi sebagai minuman yang memiliki kekuatan biologis yang tinggi. Kebutuhan akan kopi termasuk salah satu kebutuhan pokok bagi tubuh atas kandungan kimia yang dimilikinya. Oleh karenanya, maturitas kopi kemudian akan menyoal maturitas kultur atau budaya meminum kopi. Industri kopi saat ini, khususnya di Indonesia sedang bergerak memperkuat hal ini.

Sementara tentang pendekatan interaktif, saya akui adalah kekuatan yang tidak tergantikan dari kedai kopi. Di kedai kopi atau lebih dikenal dengan istilah café, seringkali terjadi distribusi wacana secara masif. Saya jadi teringat bacaan jaman kuliah tentang Public Sphere buah pikir Jurgen Habermas. Konon di Jerman, pada saat itu perubahan sosial tercetus dari pertemuan dan obrolan-obrolan yang berlangsung di kedai kopi. Maka, tidak mustahil ada banyak sekali ide-ide positif yang bisa lahir dari sudut-sudut meja di kedai kopi, salah satunya ide-ide menyangkut bisnis dan usaha produktif anak muda. Sehingga, sulit rupanya gerakan home brewer mengalahkan daya tarik hebat ini dari sebuah kedai kopi. Namun, melihat kedai kopi sebagai sebuah lini bisnis, tentu dua kekuatan ini hanya bisa dicapai ketika secara bisnis kedai kopi dapat dijalankan secara matang.

Sepanjang tahun 2018 ini, cukup banyak waktu yang saya lalui bersama teman-teman pebisnis kopi; dari kebun, roaster hingga kedai seduh. Saya dan teman-teman ini terlibat dalam pembahasan tentang pengelolaan kedai kopi sebagai bisnis. Ada banyak tantangan dan hal-hal yang masih harus terus dipelajari oleh pebisnis kopi. Keahlian mengenal beans, me-roasting dan menyedu saja tidak cukup untuk menunjang keberhasilan bisnis. Melainkan dibutuhkan keahlian lain seperti tata kelola produksi dan operasional, komunikasi dan pemasaran serta tata kelola keuangan. Belum lagi tentang literasi adminisitrasi bisnis dan perpajakan. Tidak dapat dipungkiri, pengetahuan-pengetahuan dasar ini baru dikuasi oleh sebagian kecil teman-teman pebisnis kopi.

Oleh karena itu, tahun 2018 ini saya mencoba merumuskan sebuah pemetaan sederhana pengelolaan bisnis kedai kopi dalam bentuk Matriks Segitiga. Perumusan ini tidak lain adalah sebagai wujud kontribusi dan kecintaan saya pada kopi dan pernak-pernik di dalamnya. Pada Matriks Segitiga ini saya mencoba membagi pengelolaan bisnis kedai kopi ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, “To Produce” yaitu memetakan seluruh aspek yang menentukan proses produksi; kedua, “To Manage” yaitu memetakan seluruh aspek yang menentukan tata kelola; dan ketiga, “To Communicate” yaitu memetakan seluruh aspek yang menentukan keterhubungan dengan pelanggan. Implementasi dari matriks ini akan lebih optimal lagi ketika dilengkapi dengan “Research and Innovation” dan “Finance Management”. Untuk lebih jelasnya, handout obrolan di acara Lazy Sunday Langit Senja awal Desember lalu saya sisipkan di sini.

Mengikuti obrolan-obrolan yang sangat variatif dan menarik, sepertinya habit mampir dan melakukan pemberhentian demi pemberhentian di kedai kopi masih menjadi agenda saya untuk tahun-tahun berikutnya. Geliat dunia perkopian, disadari atau tidak, memberi spirit membangun optimisme yang unik bagi saya dan mungkin bagi beberapa teman baik yang sedang menggeluti bisnis kopi, maupun hal-hal di luar itu. Karenanya saya yakin bahwa kopi tidak dapat lagi dipandang sebagai sebuah jenis minuman berkafein, melainkan sebuah budaya yang terus bergerak dan bertumbuh.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.