Clayton M. Christensen pertama kali membahas fenomena disrupsi sekitar tahun 1997 melalui tulisannya “Why Great Companies Fail?”. Christensen membuka tabir disrupsi dan topik ini kemudian menjalar ke semua bidang; tidak terkecuali. Di Indonesia sendiri sekitar sepuluh tahun berselang, buku berseri mengenai topik yang sama diterbitkan oleh Rhenald Kasali bersama Rumah Perubahan. Setelahnya, obrolan-obrolan dari tempat nongkrong hingga festival film ikut larut dalam pembahasan fenomena ini. Kadang-kadang kata “disrupsi” ketika dibicarakan serasa membahas monster bertubuh besar dan meraung nyaring. Tapi yang jelas, disrupsi itu ada dan nyata. Buktinya, hanya lewat smartphone, hari ini kita bisa titip beli makanan kepada tukang ojek lulusan strata-1.
Tidak ketinggalan, topik mengenai dampak disrupsi terhadap brand juga menjadi pembahasan yang hadir dalam berbagai paradigma dan sudut pandang. Brand sebagai jiwa sebuah bisnis tentunya sangat membutuhkan asupan perhatian ketika dunia sedang berdebat hebat tentang disrupt or be disrupted. Sementara ini, dari beberapa pemikiran ditemukan dua kelompok pandangan tentang bagaimana brandterdampak disrupsi.
Pertama, pemikir yang menempatkan brand sebagai bisnis dan produk. Bahasannya berangkat dari beberapa contoh kasus seperti Kodak yang kurang gesit melewati fenomena disrupsi ini meski dikenal sebagai salah satu pelopor fotografi digital. Begitu pula dengan Nokia dan Blackberry sebagai brand perangkat komunikasi yang sempat mendulang kejayaan, namun tergerus hingga perlahan menghilang. Menurut beberapa catatan, memandang brand sebagai bisnis dan produk, maka disruptive innovation – terobosan-terobosan yang bersifat disruptif – dibutuhkan untuk dapat bertahan dan hidup secara berkelanjutan. Terobosan yang dimaksud lebih mengedepankan pemanfaatan teknologi digital secara matang dan tepat.
Kedua, pandangan yang menganggap disrupsi sebagai opportunity atau kesempatan bagi para brand strategist dan ahli perancangan brand strategi lainnya untuk turut andil dalam mendampingi brand, bisnis dan perusahaan agar selamat melewati fenomena disrupsi tersebut. Disrupsi menuntut perusahaan dan bisnis untuk berbenah diri dengan cara mendefinisikan ulang bisnisnya, clarity dan purpose bisnis agar dapat selaras dengan perkembangan market-nya, sebab disrupsi telah mengubah tatanan pola pikir dan perilaku pasar dan konsumen.
Melihat dua pandangan ini, rasanya masih ada celah kosong yang belum terisi. Sepasang pandangan ini belum cukup menjawab persoalan brand dan disrupsi itu ke intinya. Menempatkan agensi, firma dan jasa-jasa pembangunan brand, strategi brand, komunikasi brand dan marketing serta industri kreatif lainnya sebagai entitas bisnis yang berdiri sendiri, maka tidak dapat disangkal bahwa bisnis dan industri ini pun adalah para incumbent dan newcomers yang juga berada dalam pusaran fenomena disrupsi. Lantas, bagaimana pelaku industri kreatif dan para brand strategist menentukan clarity dan purpose layanannya? Atau bagaimana teknologi digital dihadirkan pada lini-lini kreatif ini? Kedua pertanyaan ini muncul dalam merespons dua pandangan di atas. Lalu, apakah tindakan demi tindakan tersebut dapat dianggap sebagai solusi jitu bagi pemegang tampuk hulu komunikasi berbagai brand, institusi dan bisnis?
Kami di Rumah Ludo juga sedang bernapas dalam udara yang sama; tengah menjawab pertanyaan yang sama pula. Tidak hanya untuk dapat survive sebagai bisnis, melainkan lebih kepada pertanggungjawaban profesi dan proses mastering passion dalam mendampingi rekan klien mentransformasikan bisnisnya menjadi brand dan secara kontinyu dan berkelanjutan dapat hadir dan relevan di tengah kehidupan target pasarnya. Jalannya adalah dengan mewujudkan BASIC|LUDO sebagai layanan future solution yang juga berarti harus mampu memberi solusi mulai dari hari ini. Kami menyadari bahwa menghadapi fenomena disrupsi sudah se-urgent itu. Pembenahan yang kami lakukan sejak lebih kurang dua tahun lalu tampaknya merupakan keputusan terbaik dan produktif yang kami rasakan dalam menghadapi tantangan fenomena disrupsi ini. Melakukan beberapa langkah yang menurut kami cukup signifikan dengan mendefinisikan diri dan core area sebagai Strategic Brand Consulting menjadi awalan yang mendebarkan. Menetaskan Brand Intensive Methodology® justru menjadi titik awal peretasan dinding tebal tak bertuan fenomena disrupsi. Bukan tanpa alasan, pengalaman strategis maupun kreatif yang kami lalui dalam mengelola brand rekan klien dan melihat hasilnya dalam kurun waktu enam tahun terakhir memberi kepercayaan diri yang tidak sedikit bagi kami untuk terus menggali dan menempa diri.
Langkah tersebut menyadarkan kami bahwa fondasi brand hari ini telah bergeser jauh dari konsep yang dulu dan selama itu kita puja. Brand hari ini berhenti percaya pada pola-pola pikir promosional yang bagaimana pun jujurnya, tetap tenggelam dalam kesan dishonest. Brand hari ini tidak lagi berorasi dalam berbagai bentuk loudspeaker merupa banner, ads, iklan dan brand image; tetapi lebih memilih untuk menghidupi keseharian bersama pasar dan penghuninya. Habit dan laku manusia berubah secara besar-besaran dan dunia pun disambut oleh sebuah tatanan kenormalan baru. Yang dibutuhkan tidak lagi sekedar berbenah dan inovasi, melainkan reinvention. Oleh karenanya kami percaya bahwa langkah-langkah meliputi Discover, Define, Develop, & Deliver yang merupakan pokok pikiran dalam metodologi ini menjadi business lifetime journey dalam menumbuhkan dan merawat DNA (Distinction, Novelty & Attribute) brand untuk semakin kuat dan sustained.
Hari-hari masih harus dilalui. Teknologi (digital) diyakini sebagai perangkat berkomunikasi dan tempat melangsungkan aksi, sementara kehidupan tetap berjalan di atas rel realitasnya yang penuh dinamika. So, let’s make, move and master the new normal!