Undangan sebagai pembicara dari Samsara, salah satu NGO yang aktif menyuarakan hak perempuan dan kesetaraan gender akhir Juli lalu, mengobati kerinduan saya berproses bersama teman-teman organisasi sosial. Di samping itu, sejak lama saya juga telah belajar banyak dari organisasi yang bermarkas di Yogyakarta ini tentang social campaign yang konsisten dan vokal dalam menyuarakan misinya. Kami pun melewatkan sehari bersama berdiskusi dan brainstorming tentang Social Media for Social Campaign.
Bersamaan dengan itu, memamah buku Branding For The Public Sector tulisan dari Paul Temporal seperti menemukan kalimat tercecer yang kadang sulit untuk saya ungkapkan ketika terlibat sebagai konsultan pembangunan dan pengelolaan brand untuk beberapa klien yang berasal dari sektor publik baik jajaran pemerintahan, lembaga independen hingga NGO. Buku ini dengan cukup rinci menjelaskan seputar brand dan branding untuk sektor publik; dari mindset hingga sisi praktisnya. Pada tulisan lainnya, saya akan menuliskan khusus pembacaan saya terhadap buku ini.
Memang, sebelum ini komunikasi publik di ranah institusi dan organisasi hanya berkutat seputar kegiatan sosialisasi dan belakangan – karena perubahan dinamika sosio-kultural masyarakat – agenda tersebut terkesan membosankan, kurang mampu membangun engagement. Bentuk sosialisasi lebih banyak bersifat satu arah, formal dan kaku. Dalam praktiknya, keterlibatan audiens juga tidak besar porsinya. Oleh karenanya, belajar dari pengalaman dan keberhasilan komunikasi pemasaran sektor privat, telah banyak institusi dan organisasi yang putar otak dan daya kreatif serta berbenah diri untuk membangun yang namanya brand dan branding untuk lembaga.
Dari pengalaman sehari bersama Samsara dan beberapa kesempatan lainnya berproses dengan sektor publik terutama NGO, setidaknya saya mencatat empat hal yang menjadi issue terkait brand dan branding lembaga yang patut diperhatikan.

Regenerasi,
Regerasi di organisasi sangat penting. Di samping daya lanjut, regenerasi juga ditujukan untuk menjaga relevansi institusi apalagi bagi NGO yang dimotori oleh spirit kehidupan sosial yang lebih baik. Namun, dalam konteks komunikasi, proses regenerasi bukan berarti turut meregenerasi habit dan pendekatan komunikasi. Justru dengan memberi kesempatan pada generasi selanjutnya untuk menginterpretasi dan mengkreasikan habit komunikasi yang sejalan dengan diksi komunikasi hari ini adalah esensi dari terjaganya relevansi lembaga. Masing-masing generasi selalu hadir diikuti oleh pembaruan media, pendekatan dan habit komunikasinya sendiri.
Brand Vision dan Positioning
Visi brand dan positioning lembaga berbeda dengan visi lembaga. Visi brand dan positioning lebih pada what brand stand for, act as unifying factor and a source of inspiration, and drive the direction of the institution and all audience experiences (Temporal, 2015: 84). Visi brand dan positioning tersebut dapat juga diartikan sebagai visi yang menggerakkan; sebuah goal yang disusun untuk dicapai melalui aktivitas komunikasi dan campaign lembaga. Dalam bentuk sebuah statement, visi dan positioning ini menjadi jiwa dan nafas yang dianut oleh semua pihak internal lembaga dan didistribusikan kepada audiens dan stakeholders.
Content Creation
Don’t tell people who you are; but direct them to understand who you are. Sampai saat ini saya masih kukuh dengan pendirian ini dan percaya bahwa pernyataan tersebut adalah mindset dari proses content creation pada setiap public communication campaign. Konten merupakan direktori bagi audiens untuk kenal dan engage dengan lembaga dan misi yang dibawanya. Hard-selling campaign yang masih sering dipertahankan oleh berbagai lembaga dan organisasi mulai ditinggalkan oleh audiens potensial. Sementara, emotional-based content, terutama yang berpusat dan berangkat dari suara dan kebutuhan audiens itu sendiri, masih menjadi jagoan cerita yang layak diikuti bagi sebagian besar audiens terutama pengguna media sosial dan platform digital lainnya.
Management
Bagian pengelolaan memang menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan brand dan penyelenggaraan komunikasi publik. Tidak sedikit lembaga dan organisasi yang masih membebankan urusan komunikasi lembaga hanya pada divisi/departemen publikasi/PR/humas, padahal brand dan komunikasi lembaga adalah tanggungjawab setiap unsur dan pihak yang terlibat di dalamnya. Peran brand people adalah faktor penentu kekuatan dan keberhasilan aktivasi brand, termasuk juga brand campaign yang diselenggarakan.
Memperhatikan proses regenerasi untuk relevansi, penguatan visi dan positioning, kreativitas dalam content creation serta sistem pengelolaan menjadi penting dalam mentransformasikan lembaga untuk memiliki brand yang kuat, engagement yang kuat dan daya tahan yang juga kuat.