Mengamati fenomena brand sepatu lokal di jagad maya akhir-akhir ini bisa saya bilang sebagai satu kabar gembira yang dapat kita rayakan di awal tahun 2020 ini. Meski sebatas persoalan sepatu, fenomena ini bisa juga dilihat sebagai proses bertumbuhnya pengartikulasian “demokrasi” di level anak muda Indonesia melalui dialog, ajang berpendapat dan bersepakat yang berlangsung kondusif dengan ragam dinamikanya. Meski tak kasat mata, kita sangat bisa merasakan spirit ini dan saya secara pribadi serasa mendapat asupan rasa optimis akan dialog-dialog seperti ini dapat menular ke konteks lainnya; yang lebih substansial bagi kita anak muda yang menjadi bagian penting dari Indonesia. Duh! Nasionalisme saya mendadak bergetar.

Tapi nanti dulu deh persoalan demokrasi dan optimisme ini. Karena bukan wilayah yang saya geluti, tentu kedua hal ini bukan poin penting yang hendak saya tulis. Melainkan beberapa pandangan pribadi mengenai geliat industri lokal yang dilakoni anak muda; kawan-kawan saya. Dan juga pada beberapa kesempatan saya diperkenalkan pada diskursus “local pride”. Meski berjudul demikian, tulisan ini bukanlah tentang keberpihakan, tetapi Sepatu Compass adalah titik berangkat pengamatan dan pembacaan yang sederhana ini.

Karya, Industri dan Ekosistem

Saya percaya betul bahwa fondasi daya saing itu adalah karya dan kita semua punya itu. Fenomena industri dan brand sepatu lokal yang akhir-akhir ini mencuat akibat perbicangan hangat tentang brand Sepatu Compass ini memancing kita semua untuk menginventori brand-brand sepatu lokal yang ternyata jumlahnya tidak sedikit dengan ragam karya, kualitas dan angle proposisi ke market. Sederetan brand yang sejak lama sebenarnya sudah bersuara mulai lebih didengar satu per satu oleh kita. Pendapat, debat dan sepakat juga dihadirkan oleh barbagai pihak; mulai obrolan bareng temen hingga perbincangan level Indonesia Raya.

Bukankah ini dapat menjadi harapan penting bagi bertumbuhnya industri dan manufaktur sepatu di Indonesia? Kebanggaan terhadap produk lokal akan meningkatkan demand sehingga menuntut kuantitas produksi agar lebih banyak lagi, tanpa mengabaikan kualitas yang harus selalu juara. Demand yang tinggi adalah bukti pergeseran cara market/consumers behavior dari yang semula mengandalkan produk impor. Nah, tidak bisa kita pungkiri kalau selama ini banyak sekali pabrik yang menggantungkan hidupnya pada produksi sepatu brand luar negeri kualitas kedua (baca: sepatu kw) yang dipicu oleh permintaan pasar yang dianggap menjanjikan.

Menyoal produk kawe-kawean ini, mungkin sudah waktunya kita dorong mereka untuk mencukupkan aktivitas produksi dan mengobral janji-janji. Sehingga pabrik-pabrik bisa kembali bergeliat bersama karya-karya kita sendiri. Menghargai, membeli dan mengkonsumsi produk lokal dapat menjadi peran utama lain terutama bagi kita sebagai konsumen. Saya pikir begitulah istilah local pride kita maknai, bukan?

Selain itu, hal ini perlu ditunjang dengan adanya ekosistem yang kuat dan solid. Kalau kehadiran beragam brand selalu dipandang dari kacamata kompetisi yang mematikan, ekosistem tidak akan pernah hidup dan berkembang. Sebagai local pride movement, ekosistem menjadi ruang tempat brand saling menguatkan. Sebagai teman bertumbuh, brand sebelah adalah motif untuk kita selalu berinovasi. Kompetisi cuma bikin emosi; mending berkolaborasi. Toh sudah banyak yang memulai.

Bisnis, Kultur dan Habit

Fenomena sepatu lokal ini menurut saya mulai memperlihatkan pergeseran gerakan ekonomi yang dimotori anak muda dari mengandalkan daya saing manufaktur (industrialis) ke brand (valuasi). Maksudnya begini, pada beberapa dekade ekosistem industri di Indonesia hanya mengedepankan angka-angka produksi. Sementara saat ini brand-brand lokal mulai serius menggarap bisnis dan brandnya, membesarkan volume valuasinya dan berbicara dalam bahasa bisnis yang semakin hari semakin dewasa. Kreativitas berkembang tidak lagi hanya ditingkat prototip produk, tetapi juga mencakup bisnis model, brand strategy hingga strategi penjualan dan lain sebagainya.

Namun, mengutip sedikit dari surat terbuka yang beredar beberapa hari lalu, “mengalami pendewasaan bersama, seringnya tidak bisa dijelaskan dan dimengerti semua orang (dengan mudah)”. Tokoh-tokoh pebisnis muda yang barangkali memiliki pengalaman lebih bisa memberi arahan dan edukasi tentang bagaimana dinamika bisnis yang baik dan sehat. Sehingga fenomena ini tidak hanya menjadi tren sementara atau hanya menenggelamkan konsumen dalam antusiasme konsumsi, tetapi juga mengajarkan kita tentang proses membangun dan mengelola bisnis dan brand yang lebih baik dan sustained. Misalnya, sangat menyenangkan ketika hadirnya edukasi dari tokoh pebisnis muda yang berapi-api menjelaskan pandangannya tentang valuasi brand baru-baru ini.

Reseller dan harga sepatu yang menjulang tinggi juga menjadi topik bahasan yang terus-menerus diperbincangkan. Pandangan saya sederhana saja soal ini, yaitu kita sedang beradaptasi. Selama ini sneakers industry hanya sekadar tontonan yang kita saksikan di luar negeri di mana industri dan ekosistemnya sudah lebih dulu terbentuk. Di tambah dengan habit dan kultur dari produsen, brand, reseller hingga konsumen yang bisa dinilai sudah mapan. Kalaupun masuk ke Indonesia, gaung sneakers industry ini berupa adaptasi dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Sementara fenomena sepatu yang berlangsung di Indonesia saat ini adalah bangunan baru yang tengah menentukan arah. Semua kita harus lebih berani membuka diri. Kalau hanya mengedepankan keuntungan tinggi, tentu tidak sejalan dengan kebanggaan lokal yang digaungkan bersama.

Salam Ngoceh,

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.